top of page
chapter 1.png

ID

Chapter 1: Wunsch

“Kau mau mempunyai kekuatan dan merasakan rasanya jadi pembela kebenaran sesuai apa yang kau pikirkan?”

Natales city, 2026 A.D.

​

Kota Natales berisikan empat belas ribu dan empat puluh lima jiwa penduduk. Untuk ukurannya, Natales termasuk kota yang cukup maju, dengan beragam fasilitas seperti sekolah, stasiun metro, rumah sakit, universitas, perpustakaan, taman kota, dan masih banyak lagi. Di tengah kota adalah kantor Genesis Corporation berbentuk piramida suku Aztec. Walaupun kota ini maju, kota ini sifatnya menekan. Tidak ada yang boleh meninggalkan Natales kecuali menggunakan kereta bawah tanah untuk mengakses bandara udara beberapa kota jauhnya. Inilah kondisi di mana Eric Rashille tinggal, bersama dengan penduduk Natales lainnya. 

​

Eric Rashille sudah menghabiskan tujuh belas tahun hidupnya di dalam kota itu sebagai anak biasa-biasa saja. Walaupun dia di dalam kelas, Eric yang memiliki kondisi fisik yang agak lemah tidak pernah tertarik untuk belajar. Dia justru melihat berita dalam internet yang diawasi dengan ketat, dan dia menekan sebuah tautan, yang mengarahkannya ke halaman berita.

​

Lagi! “Pasukan Genoranger” Tertangkap Kamera!

​

Kemarin, sebuah rekaman grup yang memanggil diri mereka “Genoranger” tertangkap dalam kamera amatir. Rekaman tersebut menunjukan tiga individu dalam pakaian hitam, kuning, dan pink bertarung melawan sesuatu yang terlihat seperti monster...

​

“Andai saja aku bisa seperti mereka”, gumam Eric bosan.

​

Dia lalu melanjutkan membaca berita tersebut.

​

“Sejujurnya, mereka tidak lebih dari anak-anak muda yang membuat masalah,” kata Tuan D, yang meminta kami untuk tidak menunjukan namanya. “Pemerintah harus melakukan sesuatu terhadap mereka sebelum ini berkembang menjadi masalah besar.”

​

Eric tidak setuju. Dia tahu betul bahwa Genoranger, tidak seperti yang kebanyakan menduga, adalah pahlawan sesungguhnya yang melindungi Natales. Mungkin Genoranger menghancurkan satu atau dua benda ketika mereka bertarung melawan monster, tapi pastinya keselamatan banyak orang lebih baik daripada kendaraan yang rusak. Peduli setan dengan pemerintah, mereka juga tahu peluru biasa tak melakukan banyak melawan monster. 

​

Bel berbunyi dan pelajaran pun dimulai, dan para siswa-siswi membuka buku cetak mereka. Tetapi tidak dengan Alvin Arden, anak kelas 3, kakak kelas Eric di sekolah yang sama.

​

“Evolusi adalah proses perubahan pada makhluk hidup yang terjadi secara lambat selama berjuta-juta tahun,” begitu jelas guru di depan.

​

Tetapi Alvin sibuk sendiri dengan smartphone miliknya di barisan belakang. Dia asyik chatting menggunakan aplikasi Lain, di dalam grup pribadi. Ada dua orang lain di grup tersebut, tapi hanya satu orang lain yang online selain Alvin.

​

Alvin A 

bajing kmaren mlm kabur

kuat bngt itu 13:34

​

Di samping sekolah, di kampus Vana Academy, Winnie Guan, mahasiswi berusia 21 tahun dari mata perkuliahan Desain Grafis merasakan getaran smartphone miliknya. Dia melihat percakapan dari Alvin, dan dengan perasaan tertekan nampak di wajah cantiknya, membalas Alvin.

​

Winnie G

Terus kita harus bagaimana? We have literally thrown everything we got at that monster! 13:35

​

Alvin merasa tidak nyaman ketika Winnie terus-menerus menulis pikirannya, yang tetap sopan tetapi penuh dengan kepanikan.

​

Alvin A

bnyk bacot lu

gw ngerti koq

kita lg repot skrng 13:41

​

Jam pulang sekolah pun tiba, dan anak kelas 1, Grace Timmens, mengambil smartphone miliknya dari lokernya, dan dengan cepat membaca dan membalas pesan-pesan dari Alvin dan Winnie.

​

Grace T

Mau ga mau, kita butuh anggota baru :termenung: 14:15

​

Alvin membaca pesan dari Grace, berbagai emosi timbul di dalam dirinya. Ia tampak sedih dan marah.

​

Alvin A

gila lu ya!?

lu mau tuh kjadian keulang!? 14:17

​

Grace menghela napas, dia lalu membalas.

​

Grace T

Terus gimana? :((

Pertarungan semalem bukti kalau kita butuh anggota baru :( 14:19

​

Alvin meludah, dia tetap pada pendiriannya dan membalas.

​

Alvin A

Kita gak akan pernah menambah anggota baru. 14:20

​

Eric, sementara itu, berjalan keluar sekolahnya yang hampir kosong ketika dia didorong jatuh dengan keras sampai dia mencium aspal jalanan. Dia tahu siapa yang melakukannya, geng pelajar nakal yang terkenal di sekolah itu. Pemimpin mereka, yang bertubuh paling kekar di antara geng tersebut mengangkat Eric dan menarik kerahnya dengan keras, memalaknya dengan suara kencang. Eric tidak tahu harus berbuat apa, dia gemetar dan menjawab dia tidak punya uang.

​

Anak-anak itu tidak percaya, dan si otot membanting Eric ke aspal. Mereka pun bersama-sama mengeroyok Eric. Pukulan dan tendangan mengenai tubuhnya ketika dia berbaring tak berdaya, menahan tubuhnya dan mencoba menepis serangan-serangan itu sebagaimana yang dia bisa.  

​

“Andai saja... Aku... Punya kekuatan...” batin Eric sementara tubuhnya dihujani oleh pukulan dan tendangan anak-anak itu.

​

Tanpa mereka ketahui, seorang pemuda dengan baju merah aneh mengawasi mereka dari kejauhan. Eric hampir pingsan ketika Alvin yang sedang gundah kebetulan lewat. Dia melihat Eric dikeroyok, dia pun langsung menghampiri mereka.

​

“WOI, UDAH WOI!” perintahnya.

​

Geng itu perhatiannya beralih ke Alvin, dan mereka pun menghampiri Alvin dengan jengkel, karena Alvin mengganggu kesenangan mereka.

​

“Lepasin dia,” kata Alvin.

​

“Bukan urusan lo!” jawab yang paling tinggi.

​

“Lu cari ribut!?”

​

“OSIS aja belagu amat!”

​

“Hajar dia!” kata pemimpin mereka.

​

“Oh ya udah,” kata Alvin, dia lalu berpikir. “Sekalian nenangin pikiran.”

​

Dia lalu mengeluarkan sebuah benda aneh berbentuk kepala Triceratops dan menekannya.

“TRICERASCHWARZ,” benda itu berbicara seraya sebuah mata pisau muncul dari ujung benda itu.

​

Alvin lalu memasukkan benda itu ke dalam lubang di bawah smartphonenya dan dalam sekejap dia berubah menjadi Genoranger hitam, Triceraschwarz!

​

Gang itu tertawa atas apa yang mereka lihat,  “Lu mau cosplay!?”

​

Tetapi Eric, walaupun dia babak belur, tetap tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Ada anggota Genoranger di sekolahnya! Keinginannya untuk menghampirinya dan bertanya di mana dia bisa mendapatkan kekuatan tersebut, tapi dalam kondisinya sekarang dia tidak dapat melakukannya.

​

“Maju,” kata Alvin sambil menekan smartphonenya.

​

“TRIDWEN,” ujar smartphonenya, dan sebuah perisai muncul di tangan kanan Alvin.

​

“Macem tai lu! Hajar!”

​

Mereka menerjang Alvin dengan pisau dan pipa besi mereka. Alvin pun dengan mudahnya menahan serangan mereka, menghantam mereka satu per satu dengan perisainya sampai hanya dia dan sang ketua geng itu yang berdiri. Ketua geng itu ketakutan melihat kekuatan Alvin, dan dia hanya terdiam kaku ketika Alvin menarik kerah bajunya.

​

“Begini sekali lagi, gua mampusin lu,” ancam Alvin dengan nada datar, tetapi penuh kemarahan.

​

Ketua geng itu melihat cerminan mukanya sendiri di kaca helm Triceraschwarz. Alvin pun tanpa basa-basi membantingnya ke aspal. Para anggota geng yang melihat itu kabur langkah seribu, meninggalkan bos mereka pingsan di aspal.

​

Alvin lalu berbalik ke Eric, yang dia kira tidak sadarkan diri. Dia terkejut melihat Eric menatapnya dengan sebuah keinginan. Eric tidak tahu siapa Genoranger hitam tersebut, walaupun dia sudah pernah melihat wajahnya dan Eric tahu bahwa dia adalah anggota OSIS. Jiwa Eric bergejolak, sangat banyak hal yang ingin dia katakan dan tanyakan. Sementara, emosi baru bangkit di dalam Alvin saat mata mereka terkunci; ketakutan. Pelajar ini melihatnya berubah menjadi Genoranger, dan jika dia menyebarkannya, Alvin tidak akan punya tempat untuk kembali. Tidak akan ada yang percaya kata-kata geng murid yang bandel dan sering melanggar aturan, tapi siswa culun ini... 

​

Sebelum Eric sempat bicara, Alvin kembali ke wujud aslinya dan berbalik pergi secepat mungkin.

​

“Tunggu!” panggil Eric percuma.

​

Eric tertegun. Dia mulai membandingkan dirinya dengan Genoranger hitam itu. Senang, sedih, kecewa, marah, mengembang di dalam dirinya. Dia menginginkan kekuatan untuk melawan, untuk menjaga dirinya. Melindungi diri sendiri, dan melindungi orang lain. Menjadi pahlawan kebenaran. Dia lalu bangkit dan merapikan dirinya, lalu berjalan melewati gerbang sekolah.

​

“Eric Rashille.”

​

Eric berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Di belakangnya adalah seorang pemuda dengan rambut merah acak-acakan, mengenakan celana jeans robek, sneakers hitam, jaket denim, dan baju merah, sedang bersandar di dinding, melipat tangannya dan memandang Eric dengan ketertarikan yang tak biasa.

​

“Kakak yang memanggil aku?” tanya Eric ke pemuda aneh itu.

​

“Kakak? Sopan sekali,” komentar pemuda tersebut, ekspresinya terkunci kepada senyuman yang tidak tulus. “Aku memanggilmu, benar.”

​

“Bagaimana kakak bisa tahu nama lengkapku?” tanya Eric sekali lagi dengan penuh keheranan.

​

“Tak perlu dipermasalahkan,” pemuda itu berkata seraya dia melihat sekeliling, “Di sini kurang aman, bagaimana kalau kita pindah ke tempat lain?”

​

Eric tidak sempat menjawab karena pemuda itu memegangnya dengan erat dan menyeretnya ke arah semak-semak. Eric mencoba berteriak minta tolong, tetapi pemuda tersebut menutup mulutnya sampai mereka sampai di sana, tersembunyi di belakang rindangnya tetumbuhan. Eric mengambil napasnya setelah pemuda itu melepaskan cengkramannya.

​

“Kasihan kamu,” komentarnya kepada Eric.

​

Eric benar-benar waspada, dia lalu bertanya dengan takut dan curiga, “Kakak, siapa kakak dan apa yang kakak inginkan?”

​

“Kamu menginginkan kekuatan untuk melindungi dirimu sendiri dan orang lain, benar?” 

Eric terkejut, bagaimana dia tahu apa yang dia inginkan?

​

“Hidup sebagai anak SMA dalam kehidupan yang membosankan dan monoton, dibully karena ketidakmampuan dia untuk melawan. Kamu ingin sesuatu yang berbeda untuk terjadi, sesuatu yang membuatmu kuat, setuju tidak?”

​

Eric mengangguk pelan. Pemuda tersebut mendekatinya dan berbisik, “Aku punya tawaran menarik untukmu. Percayalah, dengan ini, kamu tidak akan lagi merasa bosan, dan kamu akan memiliki kekuatan yang kamu mau.”

​

Eric bertanya-tanya apakah ini adalah hal baik atau buruk, tetapi dia tidak punya waktu untuk menjawab karena pemuda tersebut mendorong sesuatu ke tangannya. Pemuda tersebut memberinya dua benda. Salah satunya adalah smartphone, dan satunya lagi adalah sesuatu berbentuk kepala Tyrannosaurus dengan bilangan Romawi di ujungnya. Kedua benda ini sama dengan apa yang Genoranger hitam gunakan untuk merubah dirinya menjadi Triceraschwarz. Eric tidak dapat percaya benda-benda ini berada di genggamannya. 

​

“Bukannya ini... benda yang digunakan Genoranger untuk berubah?” Eric bertanya, “Tetapi bagaimana?”

​

“Benar,” pemuda tersebut berkata, “Kamu dibantu salah satu dari mereka tadi, bukan? Oleh yang hitam?”

​

“Benar, tetapi apa panggilan benda-benda ini?”

​

Pemuda tersebut mengambil kepala Tyrannosaurus itu dan berkata, “Ini adalah DNA Key. Bila kau menekan tombol ini,” dia lalu menekan tulisan Romawi tersebut dan sebuah mata pisau keluar dari bagian depan kepala Tyrannosaurus. “Kamu bisa menancapkannya ke port di bagian bawah Genophone ini, dan kamu akan berubah menjadi Genoranger!”

​

Eric ingin bertanya tentang Genoranger hitam tersebut, tetapi pemuda itu kemudian melihat jam tangan emasnya dan berkata, “Maaf, aku harus pergi sekarang. Ngomong-ngomong, kamu tidak sendirian sebagai Genoranger. Akan ada banyak orang yang dapat membantu kamu melawan Androsaurs. Semoga beruntung. Aku memiliki harapan besar untukmu, Tyrannorot. "

​

“Tunggu!” panggil Eric, tetapi pemuda itu tidak berhenti.

​

Eric mengejarnya, tetapi dia sudah menghilang. Eric tidak dapat mempercayainya, kekuatan Genoranger ada di tangannya, kekuatan untuk mencapai keinginannya. Dia lalu dengan cepat kembali ke rumahnya, merasa senang dan bingung. Ketika dia sampai di rumahnya, dia mendengar ibunya sedang kedatangan tamu.

​

“Anak-anak zaman sekarang, mereka ingin melakukan hal-hal yang membuat mereka merasa senang dan memiliki kekuatan, tetapi mereka tidak memikirkan konsekuensi dari apa yang mereka lakukan,” begitu kata ibu Eric ketika Eric sedang mengendap-endap, tahu bahwa ibunya akan menanyakannya kenapa dia pulang terlambat. 

​

Dia pun terkejut mendengar itu, merogoh DNA Key dan Genophone miliknya. Kata-kata ibunya terngiang di kepalanya.

​

“Apakah benar sesuatu yang aku inginkan seburuk itu?” batinnya.

​

Dia terdiam sesaat, lalu kembali berjalan ke kamarnya dari tangga belakang. 

​

“Eric? Kamu sudah pulang?” tanya ibunya ketika dia mendengar langkah kaki.

​

Eric tidak menjawab. Dia duduk di kamarnya, menatap DNA Key beserta Genophone.

​

“Apakah aku sudah mengambil keputusan yang benar, mengambil benda ini?” dia berkata kepada dirinya sendiri, “Apa yang akan kulakukan?”

​

Ia berpikir lama, sebelum memaksakan senyum dan membenarkan dirinya sendiri, “Ini kan yang kuinginkan sejak dulu, sudah pasti aku tidak salah.”

​

Dia menaruh kedua benda tersebut, dan dia melihat selebaran dari OSIS sekolahnya terhampar di sisi kiri mejanya. Isinya adalah struktur organisasi OSIS terbaru, matanya melihat Genoranger hitam di selebaran itu. 

​

“Alvin Arden - Sekretaris.”

​

“Jadi, namanya kak Alvin Arden…”

​

Makan malam hari itu cukup canggung untuknya. Dia makan dengan perlahan, dia masih tersesat dalam pikirannya. Dia rasa dia harus menanyai Alvin semua tentang Genoranger besok.

​

“Eric, lain kali kalau sudah pulang ngomong ya?” kata ibunya memecah pikirannya.

​

“Iya, ma,” kata Eric datar.

​

“Hari ini kamu terlambat. Habis dari mana saja?”

​

“Anu bu,” Eric tergagap, “Tadi ada kerja kelompok.”

​

Ibunya melihat ekspresi Eric yang seakan menghindar dari pembicaraan ibunya, “Kamu gak bohong kan?”

​

“Iya ma,” kata Eric, sekeras mungkin berusaha untuk tidak terbata-bata. ” Maaf tadi gak kabarin, HPku lowbat.”

​

Ibunya pun menghela nafas, ia lalu berkata, “Bener deh, kamu harus kasih tahu kalau pulang telat. Mama khawatir.”

​

“Iya ma,” kata Eric, tetapi dalam hatinya dia berkata. “Ibu tidak boleh tahu juga kalau aku sekarang sudah menjadi Genoranger.”

​

Eric lalu memberitahu ibunya dia akan tidur lebih awal, sesuatu yang ibunya pikir tidak biasa.

​

“Jam segini? Bagaimana PR-mu?” tanya ibunya lembut.

​

“Sudah dikerjain bareng temen di sekolah,” jawab Eric, setengah jalan ke kamarnya.

 

“Makanya tadi aku pulang telat, yang paling pinter di kelas aja susah ngerjainnya,” jawab Eric.

​

“Ya udah. Selamat malam.”

​

Sementara itu di tengah kota, Alvin, Grace, dan Winnie bertemu. 

​

“Kamu yakin kita bisa mengalahkan Androsaurs itu? Kita tak bisa mengalahkannya semalam!” kata Winnie.

​

“Bisa,” kata Alvin, berpura-pura dia yakin dengan kata-katanya. “Kota bergantung ama kita.”

 

“Sebaiknya kamu pikirkan lagi sebelum bertindak. Kita butuh bantuan,” kata Grace dengan tenang.

​

“Banyak bacot lu,” balas Alvin, "Dicoba dulu lah. Kalo gue mati ya udah.”

​

Winnie dan Grace terkejut mendengar jawaban Alvin, lalu Winnie bertanya, “Vin, kamu yakin?”

​

Alvin tidak menjawab. Dia merasa takut terhadap Androsaur kemarin malam, tetapi dia lebih takut atas kecerobohannya tadi. Dengan seseorang melihat jelas dia berubah menjadi seorang Genoranger yang dianggap sebagai pembuat masalah, cepat atau lambat siswa culun itu akan memberitahu seisi sekolah, dan dengan cepat akan merambat ke seisi kota. Dia harus membungkam siswa culun itu, atau dia harus pergi dari kota, meninggalkan semuanya….

​

“Kalau begitu terserah kamu deh,” kata Grace mengangkat bahu. 

​

Belum semenit mereka berjalan ketika Glyptodon Androsaur muncul di depan mereka. Monster itu bercangkang, dengan gada sebagai tangan kirinya. Pertahanan dan serangan tinggi tetapi berkecepatan rendah. Melihat itu Alvin, Winnie, dan Grace siap siaga. Masing-masing mengeluarkan DNA Key milik mereka. 

​

“Ayo,” kata Alvin.

​

“TRICERASCHWARZ.”

​

“Siap,” balas Grace.

​

“VELOCIGELB.”

​

“Mengerti,” balas Winnie.

​

“PLESIOROSA.”

​

Dan dalam sekejap merekapun berubah. Alvin menjadi Triceraschwarz, Grace menjadi Velocigelb, dan Winnie menjadi Plesiorosa. Saat bersamaan, Genophone milik Eric berbunyi kencang berkali-kali. Eric melihat alat tersebut, yang menunjukan peta Natales dan sebuah lingkaran merah di tengah kota.

​

Glyptodon menerjang, Alvin menggunakan perisai Tridwen miliknya untuk menangkis serangan monster tersebut. Winnie menembak monster itu dengan musketnya, Pleskugeln, seraya monster itu terkunci dengan Alvin. Grace bergerak dengan cepat ke belakang Glyptodon dan menebas punggungnya dengan pisau kembarnya, Velocarnwen, tetapi usaha mereka nihil. 

​

“Jangan nyerah!” komando Alvin, pertahanannya melemah. “Gua mati ga masalah, asal kita menang!”

​

Glyptodon menggunakan tangan kirinya untuk menepis Tridwen ke samping, gadanya berayun. Alvin menerima serangan penuh di tubuh bagian kirinya. Badannya melayang.

​

“ALVIN!” teriak Winnie.

​

Glyptodon lalu dengan mudahnya menyerang Grace dan Winnie. Grace terkena di punggungnya, Winnie terkena di kakinya, tetapi Alvin paling parah, seluruh tubuhnya terluka ketika dia bertabrakan dengan bangunan. Alvin mengerang, berusaha sebaik mungkin untuk mengabaikan rasa sakit di dadanya.

​

“Lanjut! Kalian masih bisa bangun!” seru Alvin, “Jangan lupa, gua siap mati asal kita menang!”

​

“Kita sudah sampai batasnya!” balas Winnie.

​

“Bangun,” semangat Alvin seraya dia bangkit, “Kita masih bisa!”

​

Alvin menerjang Glyptodon. Melihat itu, Grace dan Winnie pun kembali berdiri untuk menyerang Glyptodon lagi, Alvin dengan pertahanan ringkihnya berdiri dan menyiapkan dirinya.

​

“Maju!”

​

Glyptodon terprovokasi oleh kata-kata Alvin, dia maju untuk menyerangnya. Alvin sekali lagi bertahan, Grace dan Winnie terus menyerang.

​

Ketika semua itu berlangsung, Eric, setelah berhasil menyelinap keluar, mengikuti peta di Genophone miliknya ke tengah kota. Dia lalu melihat Alvin dan dua Genoranger lainnya, kuning dan pink, menyerang seekor monster. Mereka terdesak meskipun jumlah mereka lebih banyak, Eric pun ingat tentang DNA Key miliknya, lalu dia mengikuti apa yang dilakukan oleh pemuda yang memberikannya Key. Dia menekan DNA Key miliknya.

​

“TYRANNOROT,” ujar Key tersebut.

​

“Genochange!” ujar Eric seraya dia menusukkan DNA Key ke bawah Genophone miliknya.

​

Dalam sekejap mata, Eric sekarang mengenakan seragam merah Genoranger, sebagai Tyrannorot.

​

“Wah, aku benar-benar berubah!” kata Eric kagum, “Entah mengapa, aku merasa lebih enak daripada biasanya!”

​

Genophone miliknya bergetar. Eric melihat benda itu dan menekan ikon yang baru saja muncul di layar.

​

“REXCALIBUR!” Genophone bersuara kencang ketika sebuah pedang muncul di depan Eric.

​

“Ini kesempatanku,” gumam Eric, dia menggenggam pedang itu.

​

Glyptodon baru saja berkehendak menyerang Alvin ketika ada cahaya dan sesuatu berwarna merah. Punggung Glyptodon telah terpotong-potong. Alvin, Winnie, dan Grace terkejut ketika seorang Genoranger merah muncul tiba-tiba dan lebih pentingnya, dengan mudahnya memotong cangkang kerasnya Glyptodon dengan mudah.

​

“Siapa orang ini?” tanya Winnie.

​

“Nampaknya orang yang tepat untuk membantu kita,” komentar Grace.

​

“Bodo amat, maju semua!” perintah Alvin.

​

Tetapi belum sempat mereka bergerak, Eric telah memotong kedua tangan Glyptodon. Winnie baru saja ingin menembak musketnya, kepala Glyptodon telah terputus. Alvin dengan sigap menyuruh si merah untuk cepat mundur.

​

“Minggir! Dia masih ada wujud keduanya!”

​

Mendengar itu Eric terkejut, dan lebih terkejut lagi ketika potongan tubuh Glyptodon bercahaya dan membesar sampai dia menjadi raksasa. Glyptodon mengangkat kaki besarnya dan mencoba untuk menginjak mereka. 

​

“A- Aku tidak tahu dia bisa melakukan itu!” Eric terbata seraya dia kabur dari injakan Glyptodon.

​

Alvin, Grace, dan Winnie lalu mengambil Genophone milik mereka dan memanggil robot mereka, Stahlsaurer. Alvin dengan Stahlsaurer Triceratops, Grace dengan Stahlsaurer Velociraptor, dan Winnie dengan Stahlsaurer Plesiosaurus.

​

“Ampun dah, begini mulu!” umpat Alvin dari dalam Triceratops, yang dia perintahkan untuk menyeruduk Glyptodon.

​

Serangannya diikuti dengan cakar Velociraptor dan tembakan plasma Plesiosaurus, tetapi tidak ada yang berhasil. Glyptodon mengabaikan serangan mereka berdua dan menyerang Triceratops.

​

“Ke… KEREN!” Eric berteriak kagum, “Aku bisa juga tidak?”

​

“WOI, ANAK BAU KENCUR!” teriak Alvin panik ketika dia diserang, “KELUARIN STAHLSAURER LU WOI!”

​

“Stahl apa!?” balas Eric, dan Genophonenya pun bergetar.

​

Eric mengambil Genophonenya dan di layarnya tertulis “Stahlsaurer Tyrannosaurus.”

Eric masih bingung, tetapi dia menekannya. Dari DNA Key miliknya keluarlah robot dinosaurus merah, raja segala Stahlsaurer, Stahlsaurer Tyrannosaurus!

​

“Itu!?” seru Winnie.

​

“Itu kan!?” Alvin tertegun.

​

“Stahlsaurer Tyrannosaurus kah?” tanya Grace takjub.

​

“YES! TERNYATA AKU PUNYA!” Eric melompat girang.

​

Stahlsaurer Tyrannosaurus mengaum, suaranya memecah keheningan malam, terbawa sembilan angin di tengah malam. Glyptodon mengaum balik dan menyerang Tyrannosaurus. Pikiran Eric masih takjub ketika Genophone Eric bergetar lagi. Sekarang alat itu 

menampilkan “Futter”.

​

“Kenapa sih smartphone ini? Aku tidak bisa Bahasa Jerman!” katanya, tanpa disadari Tyrannosaurus terkena hantaman gada Glyptodon.

​

“MASUK KE STAHLSAURER LU, ANAK BARU!” seru Alvin tidak sabar.

​

“Hah!? Bagaimana!?”

​

“PENCET AJA YANG ADA DI LAYAR GENOPHONELU!” Alvin berteriak.

​

Eric menekan layar Genophonenya, dan seketika itu pula tubuhnya berpindah ke dalam Stahlsaurer Tyrannosaurus. Di dalam tubuhnya tidak nampak seperti ruang kendali robot yang Eric lihat di internet. Melainkan, seperti tumpukan daging dengan kabel-kabel dan elemen mekanik dengan latar berdegup, membuktikan bahwa Stahlsaurer juga merupakan makhluk cyborg. Di depannya adalah sebuah kendali. Dia berada di dalam jantung Stahlsaurer Tyrannosaurus.

​

“Ini dimana?” tanya Eric kebingungan ketika sebuah layar hologram muncul di depannya, mengagetkan Eric seraya wajah Plesiorosa terpampang di layar itu.

​

“Kamu berada di dalam Stahlsaurer milikmu!” suara Winnie bergema kencang di dalam ruang tersebut. “Dengan mengendalikannya secara langsung, kamu bisa melawan monster raksasa itu dengan lebih baik!”

​

“Baiklah, kita saksikan!” kata Eric dengan semangat sambil memegang kendali.

​

Tyrannosaurus pun mengaum sekali lagi, semakin kencang setiap saat. Tyrannosaurus pun berlari, berisikan dengan kekuatan, dan dengan gigitannya menghancurkan cangkang Glyptodon. Glyptodon pun mencoba kabur ketika pertahanannya berhasil ditembus, tetapi dia dikurung oleh empat Stahlsaurer. Pertarungan berakhir dengan Tyrannosaurus berdiri di atas mayatnya, dengan gagah mengadah dengan auman lain.

​

Semua Genoranger di sana kembali ke wujud normal mereka, dan semua Stahlsaurer kembali menjadi DNA Key.

​

“Aku tak percaya punya kekuatan ini!” gumam Eric melihat ke DNA Key di genggaman tangannya.

​

Di belakangnya, Alvin, Grace, dan Winnie menghampirinya, yang sedang memunggungi mereka.

“Terima kasih loh atas bantuannya,” kata Grace dingin, tapi puas.

​

Eric berputar menghadapi mereka.

​

“Mulai sekarang mohon bantuannya…”

​

Tetapi Alvin menghentikan Winnie ketika dia melihat Eric. Dia kesal, bingung, dan terkejut, semua itu tercermin di wajahnya.

​

“Lu kan…,” Alvin mencoba bertanya, tetapi dia tidak bisa mengatakannya, terutama karena orang yang dia selamatkan hari ini adalah Genoranger.

​

“Kak Alvin?” tanya Eric.

​

Alvin tidak membalas, dia lebih terkejut lagi ketika anak itu mengatakan namanya. Mata mereka berdua terkunci satu sama lain dalam kebingungan di tengah malam tanpa bulan.

© 2020 by Genoranger id

  • Grey Instagram Icon
  • Grey Facebook Icon
bottom of page